Hukum Islam dalam melihat Aurat Lawan jenis melalui gambar

Apabila dilacak dalam literatur hukum Islam, akan ditemukan ungkapan yang unik. Dalam `I’ânah al-Thâlibîn, misalnya bahwa melihat wanita melalui cermin atau air tidak dilarang. Alasannya, gambar yang terlihat hanyalah bayangan. Cuma saja, disyaratkan tidak disertai syahwat.
Melihat aurat orang lain, apalagi lawan jenis, memang, dilarang (kecuali dalam keadaan tertentu, seperti mengobati). Hal ini disepakati ulama berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
قل للمؤمنين يغضّوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم … وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهنّ ويحفظن فروجهنّ (النور: 30 – 31)
Katakanlah pada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka melarang pandangannya dan memelihara kemaluannya… . Dan, katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS. al-Nur: 30-31)
Hadis Nabi SAW. :
عن عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن أبيه أنّ رسول الله  قال: لا ينظر الرجل عورة الرجل ولا تنظر المرأة عورة المرأة … (رواه المسلم )
Dari ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Sa’îd al-Khudrî dari bapaknya bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain dan begitu juga perempuan, tidak boleh melihat aurat perempuan lain.” (HR. Muslim)
Akan tetapi, lain halnya dengan melihat aurat melalui layar atau film. Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada larangan yang tegas dari al-Qur`an maupun hadis Nabi berkenaan dengan masalah ini.
Dari segi ini, tidak ada alasan untuk mengharamkan melihat aurat melalui layar atau film. Namun, jika dicermati lebih jauh, agaknya, akan lebih bijak jika tinjauan dalam masalah ini tidak hanya berfokus pada ada atau tidaknya dalil yang melarang, melainkan lebih menitikberatkan pada efek dari perbuatan tersebut (al-nazhr fî al-m’âlât).
Melihat aurat orang lain dalam hal-hal yang bersifat darurat, seperti dikatakan oleh Yûsuf al-Qaradhâwî, memang dibolehkan, umpamanya dalam proses pengobatan, dengan syarat tidak dibarengi dengan syahwat. Apabila pandangan disertai syahwat, lanjut al-Qaradhâwî; maka kebolehan tersebut bisa hilang demi menutup pintu bahaya atau sadd al-dzarî’ah. Demikian juga dengan kebolehan memandang pada lawan jenis (bukan auratnya), jika diiringi dengan syahwat, maka kebolehan itu menjadi hilang.
Syahwat, memang, merupakan salah satu faktor penting dan penunjang tejadinya perbuatan cabul (zina). Karenanya, kebolehan memandang dalam dua kasus di atas berlaku selama tidak ditunggangi syahwat. Maka dalam hal ini syahwat dijadikan sebagai ‘illah (penyebab) larangan. Sebab, orang yang dilanda syahwat yang bergejolak dikawatirkan akan terdorong melakukan perbuatan cabul.
Persolannya, apabila dihubungkan dengan melihat aurat melalui layar atau film, apakah hal itu mungkin akan membangkit syahwat seseorang? Menurut Joon Sumargono (fakar sains bidang epedemologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) sangat mungkin bagi orang yang normal, apalagi yang ditonton tayangan yang betul-betul porno. Karena, gambar yang diperoleh melalui syuting film, lanjut Joon, bisa sangat sempurna dan menyerupai aslinya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah salah apabila seseorang melihat tayangan yang memperlihatkan aurat kemudian syahwatnya bangkit? Barangkali, tidak selamanya salah. Apalagi jika syahwat tersebut disalurkan pada tempat yang semestinya (istrinya yang sah). Akan tetapi jika dilihat dari segi ushul fikih, menonton tayangan yang memperlihatkan aurat adalah sebab (kausa), sedangakan syahwat adalah musabab (efek atau akibat)nya. Dengan demikian menonton tayangan yang memperlihatkan aurat, apalagi film porno, hukumnya juga tidak boleh.
Logikanya, menonton tayangan porno diduga keras akan membangkitkan syahwat. Sementara orang yang syahwatnya bergejolak dikhawatirkan akan mendorongnya melakukan zina --apalagi bagi orang yang tidak memiliki saluran yang sah-- atau paling tidak akan merusak fikirannya, lebih-lebih bagi anak-anak remaja dalam kondisi jiwa yang masih labil.
Jadi Hukum Asalnya dibolehkan karena tidak secara langsung sifatnya hanya bayangan.

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Jadi pada intinya tidak haram melihat aurat melalui media?

    ReplyDelete
  3. Intinya haram jika dikarenakan saat syahwat akhirnya tidak ada objek sebagai penyalur yang sah, tapi bisa jadi mubah jika disalurkan ke objek yang sah (istri yang sah), sepertinya begitu

    ReplyDelete

Post a Comment