HUKUM NIKAH GHAIB ATAU NIKAH MUT'AH

Nikah Mut'ah itu halal tidak ada dalil pasti yang mengharamkan
Sesungguhnya perkara nikah mut’ah ini menjadi polemic yang cukup tajam di kalangan Muslimin,hal ini semata karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja.Mereka lalai bahwa asal hukum wanita adalah harta,maka daripada itu membutuhkan adanya mahar & akad.Ketika terjadi perangpun Istri dimasukkan pada kelompok yang boleh dijadikan harta rampasan perang,maka bila memandang wanita secara harta,nikah mut’ah tidak akan menjadi masalah.
Dari Ruwaifi' bin Tsabit al-Anshari bahwa ia berkhutbah di hadapan kami dan berkata, "Sungguh aku tidak berbicara kepada kalian melainkan sesuatu yang telah aku dengar dari Rasulullah saw, beliau berkata pada hari peperangan Hunain, 'Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir menyiramkan airnya ke tanaman orang lain, yakni menyetubuhi wanita hamil (dari orang lain). Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir menggauli tawanan wanita hingga ia memastikan ketidak hamilannya. Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir menjual ghanimah (harta rampasan perang) sehingga dibagikan'," (Hasan, HR Abu Dawud [2158], Ahmad [IV/108 dan 108-109], al-Baihaqi [VII/449]).
Dari 'AbduLLAAH bin 'Abbas r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. melarang menjual harta rampasan perang (ghanimah) sehingga dibagikan, melarang menggauli tawanan wanita yang hamil hingga melahirkan kandungannya dan melarang memakan daging binatang buas yang bertaring," (Shahih, HR an-Nasa'i [VII/301], ad-Daraquthni [III/68-69], al-Hakim [II/137], Abu Ya'la [2414]).
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul ke rahmatuLLAAH Beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.
Definisi Nikah Mut'ah , dalam Terminologi Bahasa Arab Asal kata mut'ah dalam bahasa arab adalah dari akar kata mata'a, yang mengarah pada makna bersenang-senang dan memanfaatkan. Al Munjid menerangkan arti kata mata' sebagai berikut :
Al Mata', bentuk pruralnya adalah al amti'ah, sedang bentuk jam'ul jama'nya adalah amati' dan amatii'. Seluruh yang dimanfaatkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. ... tamatta'a atau istamta'a : memanfaatkan sesuatu dalam waktu yang lama. AlMunjid hal 746

2) Definisi Istilah
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mut'ah dalam pembahasan kali ini adalah pernikahan yang ditentukan sampai waktu tertentu, yang mana setelah waktu yang ditentukan habis selesailah pernikahan itu. Imam Syafi'i berkata :
Nikah mut'ah yang dilarang adalah seluruh bentuk pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu, baik waktu itu sebentar maupun lama. [43].
Abu Laits Assamarqondi berkata: Nikah mut'ah hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau sebulan[44]
Imam Nawawi dalam al majmu' syarah muhazzab berkata : Nikah Mut'ah adalah seperti bentuk demikian : Aku nikahkan kamu dengan anakku selama sehari atau sebulan, yaitu pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu. Jika waktu yang ditentukan telah selesai maka selesailah pernikahan itu.
Ibnu Dhawayyan berkata :
yaitu menikahkan anaknya hingga batas waktu tertentu, dan mensyaratkan bahwa setelah jangka waktu selesai maka tercerailah suami istri itu.[45]
Dari penjelasan tentang arti nikah mut'ah di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah mut'ah halal.
Ayat Tentang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah

Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24

“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)

Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.

Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat [6]

Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.

Catatan:

Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!

Comments